selamat datang CUPLIS5758

Rabu, 17 April 2013

PERADABAN MANUSIA

Sejarah Peradaban Dibangun di Atas Tumpukan Mayat

SEJARAH PERADABAN MANUSIA di muka bumi diawali oleh sebuah peristiwa pembunuhan. Habil dan Qabil terpaksa harus berkelahi untuk memperebutkan saudari perempuan mereka. Sebenarnya, lebih tepat bukan suatu perkelahian, tapi sebuah tindakan pembunuhan yang sistematis. Qabil yang bernafsu untuk memperistri saudara kembarnya yang cantik, berhasil membunuh Habil. Peristiwa ini bermula dari keinginan Qabil yang ingin menikahi saudari perempuan kembarnya. Nabi Adam dan Siti Hawa berdasarkan riwayat sejarah mempunyai 20 anak kembar berpasangan. Setiap melahirkan selalu kembar dua, jadi total anak Adam dan hawa berjumlah 40 anak.
Nabi Adam mempunyai kebijakan untuk menikahkan secara silang anak-anaknya. Aturannya, saudara kembar yang lahir bersamaan dalam satu peristiwa kelahiran tidak boleh saling menikah, jadi harus menikah dengan saudara yang lain yang lahir dalam peristiwa kelahiran yang lainnya. Namun Qabil menolak menikahi saudara kembar Habil, karena mempunyai wajah yang tidak rupawa. Qabil lebih suka menikah dengan saudara kembarnya sendiri karena lebih cantik.
Akhirnya, nabi Adam memberikan solusi kepada Qabil dan Habil, untuk memberikan Qurban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Siapa yang qurbannya diterima oleh Allah SWT, maka dia akan menikah dengan saudara kembarnya Qabil yang cantik jelita tersebut. Ternyata persembahan Qurban milik Habil yang diterima oleh Tuhan. Artinya Habil berhak menikahi saudara kembar Qabil. Tapi Qabil menolak keputusan yang sudah disepakati bersama, sehingga terjadilah persitiwa pembunuhan pertama dalam sejarah peradaban manusia di bumi.
Sejarah peradaban di abad-abad permulaan juga tidak pernah lepas dari permusuhan dan peperangan. Silih berganti. Pembalasan di balas dengan pembalasan. Pembunuhan dibalas dengan pembunuhan. Serangan dibalas dengan serangan. Penaklukan dibalas dengan penaklukan. Tercatat, ada lebih dari 500 peperangan sejak 1200 SM hingga akhir abad ini. Dan sepertinya akan terus bertambah di masa depan saat konflik bergeser dalam konteks perubahan iklim.
Di zaman modern, pertempuran juga tidak pernah sepi. Selalu saja ada alasan untuk perang. Serangan ke Pearl Harbor oleh pasukan Jepang dibalas dengan menjatuhkan dua buah bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki. Serangan ke gedung kembar WTC dibalas dengan menghancurkan peradaban dua negara, Afghanistan dan Irak. Manakah yang berikut ini adalah pecundang, serangan Jepang ke Pearl Harbor, serangan Bom Atom Amerika ke Hiroshima dan Nagasaki, atau serangan teroris ke World Trade Center? Tentu sangat subyektif. Bisa jadi ketiganya semua adalah pecundang.
Ternyata, tidak salah bahwa peradaban umat manusia di muka bumi ini dibangun dari tumpukan mayat manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kebenaran dibangun berdasarkan sejarah pembunuhan dan peperangan. Apapun alasannya.
Setelah ideologi komunis yang dipandang secara umum sebagai musuh agama nomor satu bisa dihancurkan, peradaban modern menemukan musuh barunya yang tidak kalah menakutkan. Terorisme. Terorisme berdasarkan agama menemukan bentuknya yang paling sempurna dalam serangan WTC 2001. Sebelumnya, di era 90-an beberapa sekte keagamaan di luar Islam juga mewabah seperti misalnya sekte Aum Shinri Kyo (Kebenaran Yang Tertinggi) di Jepang yang dipimpin oleh Shoko Asahara, David Koresh sebagai pemimpin Sekte Ranting Daud di Amerika, dan ordo Kenizah Matahari yang dipelopori oleh Luc Jouret,
Tak berapa lama, dunia dikejutkan lagi oleh isu perubahan iklim dari hasil KTT Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brasil, 1992. Ini adalah cikal bakal gelombang teror baru dunia yang bernama perubahan iklim.  Bagi sebagian orang, perubahan iklim dan derivasinya seperti pemanasan global hanya dipandang sebagai jargon baru umat manusia di awal abad 21 ini. Tapi, oleh sebagian umat manusia lainnya, perubahan iklim justru dipandang bisa menjadi pencetus dan timbulnya peperangan di masa depan.
Betapa tidak, perubahan iklim di masa depan akan mendatangkan krisis lingkungan global. Hutan-hutan gundul yang tidak segera direboisasi, pencemaran air, polusi udara, bencana kekeringan, pemanasan global, kenaikan muka air laut, badai dan sebagainya.
Meskipun perubahan iklim (climate change), yang kemudian menjelma menjadi atau lebih tepatnya dikonotasikan sebagai peristiwa pemanasan global (global warming) pernah dituduh oleh Michael Crichton, dalam novelnya State of Fear, masih dalam kategori “debatable”, namun gaungnya di seluruh dunia sudah demikian kuatnya.
Dunia sudah dihebohkan dengan peristiwa bencana aneh seperti serangan gelombang udara panas yang menewaskan puluhan orang di Australia, kemudian cuaca ekstrim panas dan dingin, dan sebagainya. Hingga yang terbaru adalah kematian misterius hewan-hewan seperti ribuan burung dan ikan-ikan di Arkansas dan Lousiana, ribuan burung gagak yang mati di jalanan bersalju di Swedia, 100 ton ikan sarden dan lele mati misterius di Brasil serta terakhir di kawasan Semenanjung Coromandel Selandia Baru..
Pemanasan global pada gilirannya akan memunculkan empat persoalan baru yang bisa mencetuskan pecahnya perang di masa depan. Yaitu, ketersediaan air tawar, kekurangan pangan, bencana alam dan migrasi. Jauh sebelumnya, pemanasan global juga menjadi ancaman serius bagi cadangan minyak mentah sebagai sumber energi dunia, perekonomian dan lingkungan. Karena itu pula, banyak ilmuwan dan pakar dunia menyebut perubahan iklim sebagai pengganda ancaman (threat multiplier) yang menyebabkan terjadinya krisis penyakit, krisis air bersih, kenaikan muka air laut, krisis pangan, krisis energi, bencana lingkungan, bencana banjir, dan menimbulkan spekulasi migrasi penduduk dan hewan-hewan.
Pada titik inilah, dunia menghadapi kompleksitas yang besar. Di sisi yang lain, dunia dan umat manusia menghadapi apa yang disebut pemanasan global, namun di sisi yang lain pertarungan antar ideologi masih terus berlangsung. Tidak hanya itu, pertarungan atas nama Tuhan pun juga masih bersemayam di abad modern ini. Setidaknya di tanah air konflik berkepanjangan mengenai keyakinan terus menuai korban. Kita masih ingat konflik era manunggaling Kawula lan Gusti pada masa transisi Majapahit ke Kesultanan Demak. Kemudian masih segar dalam ingatan kasus penangkapan besar-besaran Darul Arqom di Malaysia yang dituduh akan berbuat makar dan sesat. Terakhir adalah tragedi Jama’ah Ahmadiyah di Republik Indonesia tercinta.
Sejarah masa depan sepertinya masih akan banyak mengalami tragedi kemanusiaan dalam sirkumstansi keagamaan di abad modern ini. Sikap –sikap egaliter dan toleran serta dialog seharusnya lebih mengemuka ketimbang pertumpahan darah. Karena jika tidak demikian, tidak akan ada bedanya antara zaman modern dengan zaman ketika habil dan Qabil berkelahi dan salah satunya harus terbunuh.

control+c & control v dr KOMPASIANA.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar