
Kekuatan fisik yang dimiliki seseorang tidaklah dapat dipergunakan
secara maksimal, apabila tidak didukung oleh pengetahuan yang cukup
serta kemanpuan berpikir yang cerdas. Sebaliknya, apabila dia tidak
berilmu pengetahuan yang cukup ia hanya dapat menggunakan tenaga dan
kekuatannya untuk metaksanakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya.
Demikian juga, kekuatan fisik yang sehat serta didukung oleh ilmu
yang mumpuni, sehingga ia mampu manjadi peminpin yang cerdas, pada
saatnya akan terjadi penyimpangan apabila tidak didukung oleh ketahanan
bathin serta pendirian yang kokoh.
Karena keberhasilan yang diraihnya akan dipergunakan hanya untuk
bersenang-senang, dan berfoya-foya atau mengikuti hawa nafsunya.
Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang merugi.
Modal Keikhlasan
Seorang mukmin yang arif, harus mampu meniti kehidupan ini dengan
cerdas, mengerahkan semua potensi dirinya (berupa ilmu, kekuatan fisik
dan keimanannya) untuk meraih karunia Allah SWT yang tersedia di alam
yang luas ini, dalam rangka mempersiapkan diri agar ia menemukan
kehidupan akhirat yang terjamin. Dalam hal ini seorang mukmin harus
berjuang dengan gigih agar menjadi seorang mukmin yang mencintai Allah
SWT dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah.
Kecintaan berjihad di jalan Allah itu dimulai dari pengamalan
kewajibannya sebagai seorang muslim seperti shalat pada waktunya,
berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, bersedekah atau berinfaq
serta menunaikan ibadah haji apabila telah mampu.
Menata diri menjadi muslim yang taat membutuhkan kekuatan iman yang
harus selalu diasah melalui tadzrkirah dan pendalaman agama dengan
benar, serta keterbukaan batin yang ikhlas menerima pembelajaran dan
petunjuk-petunjuk yang baik.
Dalam meraih karunia itu, seorang mukmin diperintahkan Allah SWT agar
jangan melalaikan nasibnya atau kebutuhan hidupnya di dunia. Seorang
yang kelaparan atau lemah atau sakit-sakitan sangat sulit untuk
menunaikan shalatnya dengan khu-syu’, apalagi menghadiri majlis taklim
atau majlis dzikir untuk mendengarkan tausiah dalam beragama. Maka pada
saat kita bekerja, hendaknya kita upayakan memiliki pandangan yang jauh
ke depan, seolah-olah kita hidup untuk selama-lamanya. Jangan tergoda
oleh was-was syaitan, bahwa kita akan mati, maka tidak perlu berjuang.
Motivasi Diri
Memotivasi diri sebagai yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya di
atas tadi, serta berpikir positif akan menjadi suatu kekuatan yang
dahsyat pada diri seseorang dan bisa menjadikannya memiliki semangat
kerja yang tinggi dan gigih.
Sabda Nabi SAW: “Bekerjalah untuk kehidupan duniamu, seolah-olah
kamu akan hidup selamanya. Bekerjalah untuk kehidupan akhiratmu
seolah-olah kamu akan mati esok” (HR. Ibnu Asaakir).
Firman Allah SWT: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, danjanganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai arang-orang yang
berlebih-lebihan” (QS. Al A’raaf: 31).
Perintah ini agak sederhana, tetapi dalam dan berarti bagi yang mau
berpikir dengan cerdas. Bagaimana seorang yang bisa menghias diri
apabila ia tidak berharta? Bagaimana bisa berharta apabila tidak
bekerja? Bagaimana pula bisa bekerja kalau tidak mempunyai keterampilan?
Dan bagaimana memiliki keterampilan apabila tak berilmu pengetahuan?
Berarti melalui ayat ini Allah SWT mewajibkan seorang mukmin harus
kuat dan kaya, serta rajin bersyukur, yang diaplikasikannya melalui
shalat.
Menurut Fitrah
Kemampuan fisik kita terbatas. Sediakanlah waktu untuk istirahat
dengan bertaqarrub kepada Sang Khaliq yang telah menjadikan kita
(manusia). Mengadulah dalam shalat kepada-Nya dengan khusyu’ dan yakin
serta berserahdiri dan mohon ampun, agar bathin kita tenang dan selalu
tegar dalam bekerja.
Jangan pula saat bekerja kita pergi ke masjid atau ke mushalla untuk
berdzikir berlama-lama, sehingga pekerjaan yang harus diselesaikan pada
hari itu menjadi tertunda. Ingatlah, bekerja itu wajib, dan berdzikir
itu sunnah. Yang sunnah tidak dapat menggugurkan yang wajib. Allah SWT
memerintahkan kita lurus kepada agama, fitrah Allah (yang telah
diciptakan-Nya) sesuai dengan fitrah manusia. (QS. Ar Ruum: 30).
Nabi SAW bersabda: “Demi Allah yang diriku di tangan-Nya,
sesungguhnya adalah lebih baik bagi seseorang diantara kamu mengambil
seutas tali dan memikul kayu api di punggungnya (untuk memperoleh
nafkah) dari pada ia datang kepada seseorang lalu meminta-minta baik ia
diberi atau tidak” (HR. Bukhari).
Sumber : Lembar Risalah An-Natijah, No. 02/Thn. XIV – 9 Januari 2009
Modal Keikhlasan
Seorang mukmin yang arif, harus mampu meniti kehidupan ini dengan
cerdas, mengerahkan semua potensi dirinya (berupa ilmu, kekuatan fisik
dan keimanannya) untuk meraih karunia Allah SWT yang tersedia di alam
yang luas ini, dalam rangka mempersiapkan diri agar ia menemukan
kehidupan akhirat yang terjamin. Dalam hal ini seorang mukmin harus
berjuang dengan gigih agar menjadi seorang mukmin yang mencintai Allah
SWT dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah.
Kecintaan berjihad di jalan Allah itu dimulai dari pengamalan
kewajibannya sebagai seorang muslim seperti shalat pada waktunya,
berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, bersedekah atau berinfaq
serta menunaikan ibadah haji apabila telah mampu.
Menata diri menjadi muslim yang taat membutuhkan kekuatan iman yang
harus selalu diasah melalui tadzrkirah dan pendalaman agama dengan
benar, serta keterbukaan batin yang ikhlas menerima pembelajaran dan
petunjuk-petunjuk yang baik.
Dalam meraih karunia itu, seorang mukmin diperintahkan Allah SWT agar
jangan melalaikan nasibnya atau kebutuhan hidupnya di dunia. Seorang
yang kelaparan atau lemah atau sakit-sakitan sangat sulit untuk
menunaikan shalatnya dengan khu-syu’, apalagi menghadiri majlis taklim
atau majlis dzikir untuk mendengarkan tausiah dalam beragama. Maka pada
saat kita bekerja, hendaknya kita upayakan memiliki pandangan yang jauh
ke depan, seolah-olah kita hidup untuk selama-lamanya. Jangan tergoda
oleh was-was syaitan, bahwa kita akan mati, maka tidak perlu berjuang.
Motivasi Diri
Memotivasi diri sebagai yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya di
atas tadi, serta berpikir positif akan menjadi suatu kekuatan yang
dahsyat pada diri seseorang dan bisa menjadikannya memiliki semangat
kerja yang tinggi dan gigih.
Sabda Nabi SAW: “Bekerjalah untuk kehidupan duniamu, seolah-olah
kamu akan hidup selamanya. Bekerjalah untuk kehidupan akhiratmu
seolah-olah kamu akan mati esok” (HR. Ibnu Asaakir).
Firman Allah SWT: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, danjanganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai arang-orang yang
berlebih-lebihan” (QS. Al A’raaf: 31).
Perintah ini agak sederhana, tetapi dalam dan berarti bagi yang mau
berpikir dengan cerdas. Bagaimana seorang yang bisa menghias diri
apabila ia tidak berharta? Bagaimana bisa berharta apabila tidak
bekerja? Bagaimana pula bisa bekerja kalau tidak mempunyai keterampilan?
Dan bagaimana memiliki keterampilan apabila tak berilmu pengetahuan?
Berarti melalui ayat ini Allah SWT mewajibkan seorang mukmin harus
kuat dan kaya, serta rajin bersyukur, yang diaplikasikannya melalui
shalat.
Menurut Fitrah
Kemampuan fisik kita terbatas. Sediakanlah waktu untuk istirahat
dengan bertaqarrub kepada Sang Khaliq yang telah menjadikan kita
(manusia). Mengadulah dalam shalat kepada-Nya dengan khusyu’ dan yakin
serta berserahdiri dan mohon ampun, agar bathin kita tenang dan selalu
tegar dalam bekerja.
Jangan pula saat bekerja kita pergi ke masjid atau ke mushalla untuk
berdzikir berlama-lama, sehingga pekerjaan yang harus diselesaikan pada
hari itu menjadi tertunda. Ingatlah, bekerja itu wajib, dan berdzikir
itu sunnah. Yang sunnah tidak dapat menggugurkan yang wajib. Allah SWT
memerintahkan kita lurus kepada agama, fitrah Allah (yang telah
diciptakan-Nya) sesuai dengan fitrah manusia. (QS. Ar Ruum: 30).
Nabi SAW bersabda: “Demi Allah yang diriku di tangan-Nya,
sesungguhnya adalah lebih baik bagi seseorang diantara kamu mengambil
seutas tali dan memikul kayu api di punggungnya (untuk memperoleh
nafkah) dari pada ia datang kepada seseorang lalu meminta-minta baik ia
diberi atau tidak” (HR. Bukhari).
Sumber : Lembar Risalah An-Natijah, No. 02/Thn. XIV – 9 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar